Senin, 11 Januari 2010

Dapur Sejuta Makna


Aktivitas di dapur memang terkesan tak berharga dan tak nyaman jika dibandingkan dengan aktivitas di ruang tamu, kamar tidur, dan ruang keluarga. Para feminist banyak mengkritik kegiatan di dapur ini sebagai tempat yang memerangkap perempuan pada rutinitas pekerjaan domestic. Apapun, toh sampai kini peran domestik perempuan tak pernah dilepaskan dari aktivitas dapur, selain kasur dan sumur. Dari dapurlah keahlian seorang istri diukur dan didinilai. Perempuan yang mumpuni adalah perempuan yang bisa memasak dengan baik.

Bagi masyarakat tradisional Jawa, dapur menjadi simbol eksistensi sebuah rumah tangga. Sebuah rumah tangga akan dianggap mandiri jika ia memiliki dapur sendiri. Kitchen becomes a significant unit symbolizing a household, kata Koentjaraningrat (1976). Dapur adalah representasi bakti seorang istri kepada suaminya. Melalui masakan seorang istri “berbicara” untuk mengungkap berbagai perasaan dan gejolak pikirannya.

Dapur mampu memberikan gambaran kondisi sebuah keluarga secara umum dan dinamika kehidupan rumah tangga pemiliknya. Dari dapurlah tercipta suasana rumah yang harmonis dan menyenangkan.

Kalau dulu ketika gadis remaja “jabatan” saya di dapur hanya sekedar “trainee”, maka setelah menikah secara otomatis jabatan saya naik menjadi “manajer”.
Dapur bagi saya memiliki sejuta makna. Dapur adalah bukti “kekuatan” saya dalam rumah tangga. Sayalah “manajer” dalam mempersiapkan hidangan untuk seluruh keluarga saya. Symbol eksistensi saya sebagai perempuan, ajang saya mengaktualisasikan diri dalam rumah tangga saya. Ruang ekspresi juga sarana membangun citra diri saya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak saya. Dapur adalah representasi cinta dan bakti saya kepada suami dan anak-anak khususnya. Representasi cinta saya kepada keluarga besar, handai taulan, sahabat dan teman yang sekali waktu bertandang ke rumah saya. Perekat tali silaturahmi antar tetangga yang terkadang kebagian juga mencicipi masakan saya …


Tulisan ini saya dedikasikan untuk:
(alm.) Embah, atas kesabaran dan ketelatenannya di dapur. Hingga kini cita rasa masakannya tetap tiada duanya
(alm.) Bapak, atas kritik dan pujiannya sewaktu saya masih gadis remaja dan baru belajar memasak
Mbak Ndari, atas semangat kenekatannya telah membuatnya menjelma dari gadis yang tidak bisa memasak menjadi ibu yang “terpaksa” bisa memasak (hehehehehe …)
Mbak Yuyun, atas masakan-masakannya yang endang bambang gurindang dan selalu menjadi inspirasi untuk saya
Dek Niken, atas telephon-telephonnya untuk sekedar menanyakan resep masakan saya
Arin, atas pujian untuk masakan Dede’
Anak-anakku Uma, Tia dan Raihan, merekalah sumber saya untuk terus melakukan inovasi-inovasi dalam memasak (lebay …)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar