Senin, 24 Mei 2010

Teliti Sebelum Mencontreng


Belakangan ini  menyambut PILKADA Depok, sudah banyak spanduk, poster, bendera dan sebagainya dipasang mulai dari jalan-jalan besar sampai pelosok kampung.  Ini artinya sebentar lagi waktunya kita menggunakan hak pilik kita untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani.  Tidak usah GOLPUT.  Walaupun saya termasuk yang tidak setuju dengan fatwa MUI yang menyatakan bahwa golput hukumnya haram.  Sebab apabila dilakukan berarti berdosa (?????)

Sebelum kita menentukan siapa Walikota dan Wakil Walikota yang akan kita pilih nantinya, tidak ada salahnya kita teliti dan kenali dulu para tokoh yang sudah mencalonkan dirinya dan siap untuk dipilih menjadi pemimpin.

Muncul pertanyaan sederhana : “Pemimpin yang bagaimanakah yang cocok untuk menerima amanah dalam memimpin kota Depok di zaman sekarang ini?”
Jawabannya pasti bermacam-macam.  Ada yang menjawab : “Pemimpinnya yang faham bercocok tanam belimbing, karena belimbing adalah icon kota Depok.”  Ada lagi yang menjawab : “Pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyatnya.”  Bahkan ada yang berharap memiliki pemimpin yang mau melayani bukan dilayani.  Secara pribadi, sebagai perempuan saya mendambakan seorang pemimpin yang sanggup memberdayakan perempuan sesuai dengan fitrahnya agar mampu berperan serta meningkatkan perekonomian keluarga.


Sebagai kalangan mayoritas alangkah baiknya apabila kita memilih pemimpin yang sesuai dengan syariah Islam.  Karena hal itu merupakan pondasi yang paling penting untuk penegakan kehidupan kota kita.  Berikut ini beberapa syarat seorang pemimpin kota Depok menurut syariah Islam.

1)  BERIMAN dan BERAMAL SHOLEH.  Hanya seorang mukmin sejati yang mampu melaksanakan secara maksimal nilai-nilai luhur kepemimpinan yang diajarkan Islam.

2)  BERILMU.  Secara pribadi saya meyakini bahwa ilmu yang diperoleh dari pengalaman hidup membuat orang lebih memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang dihargai dan disegani

3)  JUJUR.  Junjungan kita nabi besar Muhammad shalallahu alaihi wassalam digelari “Al-Amin” atau yang terpercaya.  Sekecil apapun dukungan untuk pemimpin yang jujur, maka itu akan sangat berarti banyak bagi masa depan anak, cucu, cicit dan kehidupan generasi mendatang.

4)  TEGAS.  Yang dimaksud disini bukan seorang pemimpin yang lantas bersikap otoriter.  Tetapi pemimpin yang berani dengan tegas menyatakan hitam katakan hitam, putih katakan putih.  Bukan seorang pemimpin yang abu-abu.

5)  AMANAH pemimpin yang amanah setiap kali mengucapkan janji berusaha sekuat tenaga memenuhinya. Seringkali orang mudah memberi janji dan melupakannya, tapi orang yang diberi janji biasanya tidak akan lupa. Pemimpin yang amanah bisa dilihat dari kehati-hatiannya berjanji, sedikit janjinya, tetapi selalu ditepati.  Hati-hati  terhadap calon pemimpin yang mudah mengobral janji. Seorang calon pemimpin yang banyak memberikan janji jangan langsung dipercaya. Jika akan memilih pemimpin, lebih baik pilihlah orang-orang yang sepanjang hayatnya memberikan bukti daripada yang hanya bisa memberikan janji.

Siapapun yang kelak terpilih menerima amanah untuk menjabat sebagai pemimpin kota Depok, hendaknya mampu menjadi pemimpin yang selalu mengedepankan kemaslahatan umat ….. pemimpin yang mengajak kepada kebaikan, bukan kepada keburukan. Pemimpin yang mengajak kebaikan niscaya dia ingat kepada Sang Maha Pencipta. Pemimpin seperti itu sadar bahwa dirinya adalah hamba Allah, bukan hamba kekuasaan atau hamba kekuatan.

Jadi ... nyak, babe, ncang, ncing, mpok, abang … teliti sebelum mencontreng



Note:
Dalam rangka PILKADA kota Depok

Senin, 17 Mei 2010

MENJAGA KOMITMEN PERNIKAHAN


PERNIKAHAN hakekatnya adalah sebuah ikatan emosional antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dilandasi dengan rasa percaya, cinta kasih, saling menghormati dan pengertian mereka membangun komitmen bersama, untuk membina sebuah hubungan yang lebih serius didalam biduk rumah tangga. Pernikahan adalah komitmen dari sepasang insan untuk saling menyesuaikan diri secara terus-menerus.

Sejujurnya … pernikahan tidak lah selalu seindah kebun bunga,  tetapi  tidak juga seburuk yang di khawatirkan oleh sebagian orang. Pernikahan adalah awal dari realita kehidupan. Menyatukan dua individu yang berbeda tidaklah mudah dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.  Boleh jadi pernikahan menjadi tempat mewujudkan impian yang pernah di angan kan berdua. Sekalipun pada kenyataannya tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Namun kita harus tetap menyikapinya dengan bijak.

Tidak ada pernikahan yang tanpa masalah, karena pernikahan di bangun diatas perbedaan. Namun jadikan masalah sebagai usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut agar menjadi lebih baik. Jika ada cinta maka masalah dan perbedaan itu tidak akan merenggangkan, justru akan semakin menguatkan.  Bukankah cinta itu kuat seperti maut?

Ketika kita membangun sebuah komitmen bersama belahan jiwa, sebaiknya sediakan sebuah ruang yang bisa kita pakai bersama dengan menanggalkan semua keegoisan diri. Di butuhkan saling pengertian dan komunikasi agar  dapat menyelaraskan visi bersama. Keterampilan menyelesaikan masalah akan semakin memperkuat hubungan suami-istri.

Belahan jiwa (soul mate), seseorang yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Seorang suami atau istri. Orang yang kita pilih ketika kita berkomitmen untuk membina sebuah rumah tangga. Orang yang kita cintai yang menjadi belahan jiwa, yang padanya kita curahkan segala kasih sayang dan cinta.

Seorang istri tidak mungkin mendapatkan suami yang gagah perkasa, mulia, dermawan,berilmu luas, banyak sedekah, pandai mengendalikan amarah dan segudang sifat - sifat positif lainnya. Seorang suami juga tidak mungkin mendapatkan seorang istri yang cantik, pandai menyenangkan suami, cekatan, pintar dan segudang kelebihan lainnya. Masing - masing pasti memiliki kekurangan. Rasulullah menasehati kita dalam menyikapi kekurangan yang ada pada pasangan, ” Hendaklah seorang suami mukmin tidak meninggalkan seorang istri mukminah. Kalau dia membenci suatu perangai pada istrinya, dia pasti menyukai perangai yang lain. ” (HR. Muslim). Jelas di balik kekurangan yang dimiliki pasangan kita, bisa jadi ada banyak kelebihan yang lain yang dapat meyenangkan hati. Dalam Al Qur’an ALLAH juga mengingatkan, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah, boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ALLAH menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S Annisa : 19).

Dalam ikatan pernikahan suami adalah pakaian bagi istrinya demikian juga sebaliknya. Masing - masing harus mampu menutupi aib pasangannya. Menyikapi kekurangan yang ada pada pasangan kita dengan lebih bijaksana. Menutupi kekurangan nya dengan kelebihan yang kita punya dan begitu juga sebaliknya. Namun bukan berarti tidak ada tindak lanjut dalam usaha memperbaiki diri. Harus ada usaha berupa lisan maupun perbuatan yang dilakukan dalam rangka perbaikan tersebut. Tentunya semua itu dilakukan dengan penuh keihlasan dan rasa cinta. Tanpa melupakan satu hal bahwa bisa jadi pasangan kita memiliki kelebihan yang mungkin tidak kita miliki, sehingga dalam saling menasehati tidak terkesan menggurui dan sok tau. Semua di lakukan dalam rangka meningkatkan ilmu dan menggapai ridhoNYA.

Selain ikhlas dalam menasehati tentunya harus ada juga keihlasan dalam menerima nasehat. Melunakan hati ketika menerima nasehat menjadikan hati lebih ikhlas.  Semua itu tentunya harus dilakukan dengan melihat kondisi pasangan kita sekaligus memilih metode yang tepat dengan sifat pasangan. Bukankah semua itu kita lakukan demi menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga ?

Menasehati pasangan sebaiknya dengan “Bil Hikmah wa mau’idzhatul hasanah” dengan hikmah dan teladan yang baik. Seperti yang juga telah di ingatkan ALLAH dalam firmanNya ” …….Nasehat menasehati dalam kebenaran, nasehat menasehati dengan kesabaran.” (QS. Al - Ashr: 3).

Orang bijak mengatakan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dalam hidup adalah perubahan. Oleh karena itu, anggaplah pernikahan sebagai salah satu dari perubahan tersebut. Memang sedikit mengejutkan di awal, tapi tentu seiring dengan berjalannya waktu dan usaha beradaptasi yang Anda kerahkan, jalan perahu rumah tangga Anda akan menjadi semakin halus dan tenang.



Ku dedikasikan tulisan ini untuk:
·         belahan jiwaku (masihkah?) : untuk kita renungkan kembali …
·         handai taulan
·         sahabat
·         teman

Selasa, 11 Mei 2010

SETIAP REUNI ADALAH SEJENIS SURGA


Reuni itu tidak selalu positif, bisa negatif ? Tidak semua orang berkembang sama secara psikologis. Bayangkan saja, ada orang yang mungkin masih erat memendam dendam tentang sebuah peristiwa di masa lalu, yang benar-benar jauh di masa lalu. Lalu karena sebuah reuni, orang itu bertemu lagi dengan orang yang ada kaitannya dengan peristiwa itu. Apakah ada jaminan bahwa segalanya lalu akan baik-baik saja? Ini bukan hanya menyangkut orang (bisa sikap, bisa perilaku) dan peristiwa, tapi bisa juga menyangkut tempat atau mungkin benda. Ada hal-hal yang dalam hidup ini ingin kita lupakan, tapi justru reuni malah membuat semuanya itu kembali lagi.

Buat saya, reuni adalah sebuah piknik ke masa lalu dan membangkitkan ingatan-ingatan lama tentang segala hal. Mungkin, secara sederhana dapat saya katakan bahwa reuni dapat membangkitkan kenangan akan pengalaman dari masa lalu dan dulu, tidak semua dari pengalaman itu kita hadapi secara dewasa. Reuni membuat kita punya peluang untuk ingat atau mengingat-ingat segala apa yang pernah kita hadapi secara tidak dewasa di masa lalu, dan – dalam semangat tulisan ini - bertanya-tanya apakah semua itu menorehkan ‘bekas’ yang masih kita bawa sampai hari ini.

Uniknya, reuni itu membuat sebagian orang merasa nyaman dalam fiksasi (fixation) tertentu. Biasanya memang ada asumsi bahwa reuni adalah untuk mengenang masa-masa yang menyenangkan. Padahal kita bisa pertanyakan, apakah masa lalu itu selalu menyenangkan buat semua orang? Atau apakah reuni itu hanya pantas dilakukan bila masa lalu dari sejumlah orang itu sama-sama dipersepsi sebagai menyenangkan?

Bagi seorang individu tertentu, mungkin saja reuni adalah sebuah potensi ancaman. Seseorang bisa saja datang, tapi mungkin ia akan pasang kuda-kuda dalam dirinya. Yang lain, mungkin memutuskan tidak akan datang karena yakin bahwa masa lalu benar-benar masih hidup dan masih memiliki potensi untuk mempengaruhi state of mind yang sekarang.

“Segalanya memang sudah berubah, tapi siapa bisa menjamin bahwa A tidak akan mengolok-olok B dengan julukan yang sama seperti dulu, yang akan membuat A naik pitam?” “Waktu memang sudah berlalu cukup lama, tapi dendam memang harus terbalaskan.” Atau barangkali, “Dulu ada hal yang belum sempat terlampiaskan, maka reuni sekarang ini adalah saatnya.” Bisa pula, … “Ketika itu dia melakukan hal yang amat sangat menyakitkan hati, dan ketika reuni nanti pasti dia tidak akan meminta maaf. Jadi, lebih baik tidak usah datang saja.” Lainnya lagi, “Dia dulu sudah terlalu banyak membuat masalah. Kalau dia datang ke reuni dia pasti akan bikin kacau perasaan. Mana mungkin kita menuntaskan perasaan itu dengan marah-marah di saat pertemuan yang justru seharusnya diwarnai dengan keceriaan ?” Ya, masih ada banyak variasi. Bayangkan kemungkinan yang paling buruk dari sebuah reuni ? Sedia payung sebelum hujan. Kalau sebuah reuni ternyata menyenangkan dan baik-baik saja, ya syukurlah. Tapi kalau tidak ?

Bukannya reuni itu adalah sebuah acara untuk bersenang-senang ? Ya betul, tapi apa hanya itu satu-satunya makna dari sebuah reuni ? Reuni adalah sebuah kesempatan untuk melakukan konfrontasi pada konflik-konflik batin yang berkaitan dengan persepsi pada orang atau peristiwa, serta pengalaman dari masa lalu. Karena seharusnya kita berkembang menjadi semakin dewasa dengan meninggalkan hal-hal yang buruk dari masa lalu dan sepenuhnya melepaskan diri dari ‘sampah-sampah perasaan’ yang mungkin masih tersisa. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ini akan mudah. Memerlukan keberanian, dan ini hanya bisa berlangsung pada taraf individu, tidak bisa diangkat ke permukaan. Dengan datang ke acara reuni, kita membiarkan diri kita menghadapi kemungkinan munculnya ingatan-ingatan dari masa lalu atau adanya reaksi / respon dari orang lain yang tidak menyenangkan, tapi bersamaan dengan itu membuat kita menjadi saksi bahwa segala yang mungkin tidak menyenangkan itu boleh jadi ternyata relatif saja, tidak seintens yang kita bayangkan selama ini, atau malah barangkali sudah berubah sama sekali. Kalau ternyata itu semua tidak bisa datang dari orang lain, maka diri kita sendiri yang harus melakukannya, mereevaluasi semuanya. Apakah cara pandang kita dulu tentang segala sesuatunya akan masih sama dengan yang sekarang ? Kita tidak akan tahu apa yang bisa terbangkitkan pada perasaan kita di acara reuni, tapi itu adalah kesempatan untuk berdamai dengan diri sendiri.

Harus diakui bahwa akan ada orang-orang yang dulu mungkin menyebalkan, dan sekarang ternyata masih seperti itu. Ada pula orang-orang ekstrovert bodoh yang dengan pembenarannya sendiri mungkin akan mengungkapkan apa yang dipikirnya sesuatu yang kocak dari masa lalu, tapi sangat mungkin itu adalah hal yang amat menyakitkan bagi orang lain di situ. Saya tidak bisa membayangkan itu akan benar-benar bisa diniatkan semua orang. Selain tidak semua kepribadian bisa menangani itu, kita juga tidak akan pernah tahu bahwa orang yang kita hadapi itu akan menerima apa yang kita katakan. Agak paranoid juga kalau di sini mesti dikatakan bahwa sebelum reuni dilakukan, semua peserta harus mematuhi semacam codes of conduct tertentu. Masalahnya, tidak mungkin kita mengendalikan perilaku semua peserta reuni. Barangkali, reuni dengan codes of conduct itu malah bukan reuni sama sekali. Kalau begitu, sekurangnya ada ‘gerakan’ proaktif pada diri sendiri, hanya dalam diri kita sendiri, untuk mengevaluasi kembali semua perasaan itu. Kita katakan saja, barangkali orang-orang tolol yang tidak sensitif itu memang sudah ditakdirkan seperti itu selama hidupnya.

Semua orang pasti punya masa lalu, tapi tetap saja barangkali reuni itu tidak untuk semua orang. Tidak ada yang mengatakan baik atau buruk, karena ada suatu masa dalam hidup kita – betapapun itu sungguh berat – kita mesti bertanggungjawab untuk diri sendiri. Maka datang atau tidak-datang ke sebuah acara reuni adalah kebebasan untuk semua orang.

Tryon Edwards (1809 – 1894), mengatakan : Every parting is a form of death, as every reunion is a type of heaven (setiap perpisahan adalah suatu bentuk kematian, seperti halnya setiap reuni adalah sejenis surga).

Terdedikasikan untu seluruh teman-teman: 
1) Alumnsi SMEA Negeri 4 tahun 1988 Pejaten Jakarta (khususnya jurusan akuntansi - love u all)
2) Alumni SMEA N 4 JKT (SMK N 8 JKT) 
3) EKSDI (khususnya ex PT Aji Satria Sena Karya)