Jumat, 11 Februari 2011

Mahabbatullah


Suatu cerita dari Husain (cucu Rasulullah Saw.) Sewaktu masih kecil Husain bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: “Apakah engkau mencintai Allah?” Ali ra menjawab, “Ya”. Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” Ali ra kembali menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?” Lagi-lagi Ali menjawab,”Ya”. Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?” Ali menjawab, “Ya”. Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah”. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.

Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).

ciri-ciri seorang yang mencintai Allah :
Pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”

Kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa.

Bentuk mahabbah :
1. Cinta kepada sesame, sebuah kisah sufi menyebutkan “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
2. Tidak menyekutukan Allah, Allah pun cemburu ketika cinta-Nya dikhianati, yakni ketika seorang hamba lebih mengutamakan cinta kepada selain-Nya. Atau ketika hamba durhaka dan maksiat kepada-Nya. Bila kecemburuan Allah tak pernah kita hiraukan, maka akan berubah menjadi kemurkaan-Nya. Tak seorangpun yang akan sanggup menahan atau menghadapi kemurkaan Allah, Naudzubillahi min dzalik.
3. Berusaha ma’rifatullah, Kecintaan kepada Allah tidak akan ada ketulusan dan kemurnian kecuali dengan tauhid yang benar, menjadikan Allah sebagai loyalitas tertinggi dan otoritas mutlak dalam segala hal. Kecintaan kepada Allah sudah pasti harus dibuktikan dengan mencintai kalamullah atau ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah (tertulis), maupun yang Kauniyah (tidak tertulis). Maka tadarus, tadzabur dan amaliyah Al-Qur’an menjadi hal yang utama. Selanjutnya ia mencintai Rasul-Nya dan Jihad fii sabiilillah.
Kecintaan kepada Allah sudah pasti harus dibuktikan dengan mencintai kalamullah atau ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah (tertulis), maupun yang Kauniyah (tidak tertulis). Maka tadarus, tadzabur dan amaliyah Al-Qur’an menjadi hal yang utama. Selanjutnya ia mencintai Rasul-Nya dan Jihad fii sabiilillah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan diantara manusia, ada yang menjadikan dari selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)

Sudahkah hari ini kita ungkapkan kata cinta, terima kasih dan maaf pada orang-orang yang terdekat dengan kita? Kepada kedua orang tua kita, adik kita, kakak kita, nenek kita, kakek kita, suami kita, isteri kita, sahabat kita, teman-teman kita, dan bahkan kepada para karyawan dan pembantu kita. Banyak cara untuk mengungkapan cinta, terima kasih dan maaf, antara lain: kejujuran pengakuan, perhatian, hadiah, senyuman dan do’a. Sudahkah kata cinta, terima kasih dan mohon maaf terucap dari lisan kita yang tulus pada orang-orang di sekitar kita?. Ataukah sebaliknya, sungguh engkau manusia hidup dalam sebuah komunitas sosial bukan komunitas robot yang akan mengindentifkan kasih rasa sayang mu tanpa engkau tunjukan kasih sayang itu. 

Terutama dan paling utama, sudahkah rasa cinta, terima kasih dan mohon maaf atau ampun, kita lantunkan dari bibir ini untuk Sang Pemilik Jiwa kita? Allah Subhanallah Wa Ta’ala. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah, Ridla kepada-Nya dan diridlai oleh-Nya. Amiin.

Ukhibbu Fillah ya ukhti …….
Wallahu a’lam bish showwaab


Note:
Alhamdullah masih bisa merasakan nikmat islam dan iman.  Sungguh ..... sebuah nikmat menikmati bacaan bersama saudara seiman dalam blogg yang sekian lama baru dapat  saya kelola lagi. Menyikapi usulan seorang rekan ... kali ini saya mencoba mengkaji Mahabbatullah, cinta setia kita kepada sang khalik.
Walaupun tulisan ini diambil dari berbagai macam sumber, saya menyadari segala kekurangan yang saya miliki, untuk itu saya mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan kesalahan di sana sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar