Senin, 08 November 2010

Perempuan Orang Tua Tunggal, Suatu Bentuk Kekuatan Perempuan

Keluarga yang lengkap dan utuh adalah idaman setiap orang. Namun, adakalanya nasib berkehendak lain. Jujur, saya merasa teramat sangat marah pada “keadaan” yang telah merampas keutuhan rumah tangga saya.  “Keadaan” yang menjadi penyebab hilangnya kebahagiaan anak saya.  Karena “keadaan” itulah anak saya yang masih balita harus merasakan ketidak sempurnaan kasih sayang Ayahnya.  Harus berpisah dari Abang dan kakak ... yang mana walapun mereka berbeda Ibu, tetapi saya yakin, anak-anak saya saling menyayangi satu sama lain.  Berbulan-bulan ... setiap malam, sebelum tidur saya pandangi dan ciumi  wajah polos anak saya.  Tak terasa air mata saya jatuh menitik.  Berulang kali saya berbisik di telinganya, "Maafkan Ibu, sayang..." berulang kali ...

Saya adalah ibu anak saya. Anak yang selama sembilan bulan kurang ,  saya kandung dalam rahim saya. Kebetulan anak saya lahir premature (8 bln) karena sejak usia 4 bln, saya mengalami perdarahan yang disebabkan oleh plasenta previera totalis.  Anak yang pernah berada sangat dekat dengan jantung dan hati saya. Kadang dia terbangun dari tidurnya karena mendengar isakan tertahan saya.  Mata beningnya yang bulat menatap saya dengan sendu. “Ibu ... Ibu jangan nangis terus ... nanti rumah kita banjir.”
Suara kanak-kanaknya yang lucu, polos dan lembut membangkitkan keyakinkan saya, bahwa saya akan mampu memberikan kebahagiaan untuknya.

Hidup tak selalu sempurna dan impian saya tidaklah terlalu berlebihan.  Saya ingin membuktikan kepada orang-orang disekeliling saya terutama mantan suami saya dan seluruh keluarganya. Membuktikan bahwa saya mampu membesarkan dan mendidik anak saya dengan baik.  Membuktikan bahwa saya adalah seorang perempuan kuat yang akan terus berjuang agar dibibir anak saya selalu dihiasi sesungging senyum.  Dan harus pula diakui, bahwa banyak orang telah bisa mencapai keberhasilan di dalam kehidupannya, walaupun mereka harus hidup tanpa seorang ayah.  Misalnya ... Barack Obama Presiden Amerika Serikat yang ke 44.  Kata orang bijak, mimpi adalah juga sebuah doa ... Semoga Allah bekenan mengijabah segala doa saya ... Amin YRA

Melalui artikel ini saya berharap - tidak saja - perempuan yang memilih atau “terpilih” oleh nasib menjadi orang tua tunggal tetapi juga anak (-anak) mereka dapat lebih dihargai keberadaan dan perjuangannya. Oleh siapapun kita yang selama ini tanpa disadari terkadang bersikap “melecehkan” keberadaan mereka.

Menjadi orang tua tunggal dalam sebuah rumah tangga tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, bagi seorang isteri yang ditinggalkan oleh sang suami, entah itu karena meninggal atau alasan bercerai. Paling tidak, dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pada perempuan yang pernah menikah lalu bercerai, siap atau tidak, predikat janda dengan anak(-anak) akan disandangnya. Bila hubungan dengan mantan suami dan keluarganya baik, masalah figur ayah juga kebutuhan hidup sehari-hari bagi anak sedikit banyak teratasi. Kehadiran ayah bukan hanya secara fisik, masih dapat dirasakan anak dan lingkungan sekitar pun melihat kenyataan keberadaan sosok ayah sekalipun telah bercerai dari sang ibu tetapi tetap menjadi bagian dalam hidup anak.  Namun, bila hubungan tersebut berantakan dan tanpa dukungan memadai dari pihak keluarga perempuan, maka sang anak pun harus siap ikut menanggung akibatnya.

Anak-anak janda ini pun akan ditanyai keberadaan (bukan hanya fisik) ayahnya. Pertanyaan seperti, "Ayahmu pernah telepon tidak?" atau "Ayahmu pernah ngasih apa aja buat kamu?" Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau tinggal sama kamu lagi?"


Jelaslah bagi anak dari perempuan orangtua tunggal, terlebih bila anak bersekolah di sekolah biasa dan bukan sekolah kurikulum internasional yang biasanya tidak mempermasalahkan hal ini, tekanan yang dihadapi anak tidak ringan. Selain secara pribadi ia menyaksikan anak-anak lain memiliki ayah-ibu yang tampak bersama-sama dalam acara-acara tertentu sekolah, dalam lingkungan sekolah dan pertemanannya pun ia akan ditanyai keberadaan ayahnya. Sekali-dua sosok ayah tidak hadir masih dapat dimaklumi, tetapi bila setiap kali hanya berdua dengan ibu, maka pertanyaan mengenai ayah tanpa sungkan akan diajukan.

Belum lagi bila teman-teman sebaya ribut membanggakan kelebihan ayah masing-masing. Figur ayah macam apa yang dapat ia banggakan? Sekadar foto-foto seorang pria, baik sendirian maupun bersama ibunya (ataupun juga dengan sang anak), di masa entah kapan? Bagi seorang ibu, hal-hal yang menyangkut dan melukai perasaan anaknya sungguh terasa lebih menghunjam daripada gosip tetangga dan rekan kerja tentang dirinya.

Anak dari perempuan orangtua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang menerima, tetapi semua itu memerlukan proses yang tidak semenarik ilusi sulap.


Meski menjadi perempuan orangtua tunggal terbilang tak mudah dijalani, namun sangat banyak wanita yang menjadi ibu sekaligus kepala keluarga, tetap sukses membesarkan anak-anaknya.

Akhir kata, marilah kita galakkan pemahaman bahwa menjadi orangtua tunggal adalah pilihan hidup yang tidak mudah, namun tetap harus dihargai sebagai suatu bentuk kekuatan perempuan yang dapat dibanggakan, bukannya trend layar kaca yang ingar-bingar. Di balik keputusan tersebut terkandung permasalahan yang kompleks dan perjuangan amat berat bagi perempuan kebanyakan yang tidak mungkin dibahas secara gamblang di media apa pun.

(diambil dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar