Harta
isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum menikah,
atau pun setelah menikah. Harta istri setelah menikah yang terutama adalah dari
suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila isteri itu
bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis.
Khusus
masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan kewajiban suami dalam
bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala kebutuhan hidup istri
mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan suami.
Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami memiliki posisi qawam
(pemimpin) bagi istrinya, sebagaimana firman Allah SWT:
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa':
34)
Namun
yang seringkali terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa nafkah suami
kepada istri adalah biaya kehidupan rumah tangga atau uang belanja saja.
Pemandangan sehari-harinya adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua
diserahkan kepada isterinya.
Cukup
atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si istri pusing tujuh keliling,
bagaimana mengatur dan menyusun anggaran belanja rumah tangga. Kalau istri
adalah orang yang hemat dan pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran, suami
tentu senang.
Yang
celaka, kalau istri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih mengatur
keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang. Ujung-ujungnya,
suami yang pusing tujuh keliling mendapati istrinya pandai membelanjakan uang,
plus hobi mengambil kredit, aktif di arisan dan berbagai pemborosan lainnnya.
Padahal
kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih
merupakan ‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada istrinya. Sebagaimana
‘uang jajan’ yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.
Adapun
kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah
dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada istri. Kewajiban
mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban istri, melainkan kewajiban suami.
Kalau
suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan semua biaya itu,
boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa dikatakan
sebagai nafkah buat istri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta
yang sepenuhnya menjadi milik istri.
Kira-kira
persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu mahar atau
maskawin. Kita tahu bahwa sebuah pernikahan diawali dengan pemberian mahar atau
maskawin. Dan kita tahu bahwa mahar itu setelah diserahkan akan menjadi
sepenuhnya milik istri.
Suami
sudah tidak boleh lagi meminta mahar itu, karena mahar itu statusnya sudah jadi
milik istri. Kalau seandainya istri dengan murah hati lalu memberi sebagian
atau seluruhnya harta mahar yang sudah 100% menjadi miliknya kepada suaminya,
itu terserah kepada dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa mahar itu
milik istri.
Sekarang
bagaimana dengan nafkah buat istri?
Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat istri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat istri. Dan kalau sudah menjadi harta milik istri, maka istri tidak punya kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu ‘bersih’ menjadi hak istri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua kebutuhan sebuah rumah tangga.
Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat istri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat istri. Dan kalau sudah menjadi harta milik istri, maka istri tidak punya kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu ‘bersih’ menjadi hak istri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua kebutuhan sebuah rumah tangga.
Mungkin
Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre’ banget sih konsep seorang istri dalam
Islam?
Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut nafkah ‘eksklusif’ yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan untuk punya sifat qana’ah.
Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut nafkah ‘eksklusif’ yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan untuk punya sifat qana’ah.
Saking
mantabnya penanaman sifat qana’ah itu dalam pola pendidikan rumah tangga kita,
sampai-sampai mereka, para isteri itu, justru tidak tahu hak-haknya. Sehingga
mereka sama sekali tidak mengotak-atik hak-haknya.
Memandang
fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, “Wah, ustadz, kalau
begitu hal ini perlu tetap kita rahasiakan. Jangan sampai istri-istri kita
sampai tahu kalau mereka punya hak nafkah seperti itu.”
Yang
lain menimpali, “Setuju stadz, kalau sampai istri-istri kita tahu bahwa mereka
punya hak seperti itu, kita juga ntar yang repot nih ustadz. Jangan-jangan
nanti mereka tidak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah dan lainnya, sebab
mereka bilang bahwa itu kan tugas dan kewajiban suami. Wah bisa rusak nih
kita-kita, ustadz.”
Yang
lain lagi menambahi, “Benar ustadz, bini ane malahan sudah tahu tuh masalah
ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane suruh
kuliah di Ma’had A-Hikmah di Jalan Bangka. Rupanya materi pelajarannya memang
sama ame nyang ustadz bilang sekarang ini. Cuman bini ane emang nggak tiap hari
sih begitu, kalo lagi angot doang.”
“Tapi
kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak mao masak,
ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah terpaksa ane
yang nyuciin baju semua anggota keluarga.Wii, pokoknya ane jadi pusing sendiri
karena punya bini ngarti syariah.”
Menjawab
‘keluhan’ para suami yang selama ini sudah terlanjur menikmati ketidak-tahuan
para isteri atas hak-haknya, kami hanya mengatakan bahwa sebenarnya kita
sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya dari Allah juga.
Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.
Sebab
Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang isteri atas nafkah
‘eksklusif’, juga menyebutkan tentang kewajiban seorang isteri kepada suami.
Kewajiban untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi kewajibannya
kepada orang tuanya sendiri.
Padahal
kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kita nikahi itu sejak kecil
telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah keluar
biaya besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita kita
datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya cuma
seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu perak.
Sudah
begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang
pembantu rumah tangga, mulai dari shubuh sudah bangun dan memulai semua
kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan
genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya masih pula ‘dipakai’
oleh para suaminya.
Jadi
sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah ‘eksklusif’
di mana mereka dapat hak atas ‘honor’ atau gaji dari semua jasa yang sudah
mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang sepenuhnya milik isteri.
Suami tidak bisa meminta dari uang itu untuk bayar listrik, kontrakan, uang
sekolah anak, atau keperluan lainnya.
Dan
kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima ‘gaji’
sebesar Rp 1 juta yang utuh tidak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun
perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta rupiah.
Lumayan kan?
Nah
hartai tu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari suami. Kalau suami
meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu tidak boleh ikut
dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik isteri
sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari milik almarhum
suaminya lewat pembagian waris. (eramuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar